Biografi Pendiri

Silsilah Keluarga

Tgk. H Nuruzzahri Yahya, akrab disapa Waled Nu, lahir di desa Mideun Jok, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen pada 1951. Beliau anak sulung Tgk.H Yahya dari istri pertamanya, Sa’diah. Dari ibunda Sa’diah yang meninggal dunia pada 1959 Waled Nu mempunyai dua orang saudara; Tgk.Fakhrurrazi Yahya dan Syeh Asnawi Yahya (Alm). Dari ibunda kedua, Hj Nurjannah, Waled mempunyai dua orang adik, yaitu Tgk. Syeh Baihaqi dan Hj. Marhamah (Walidah Tanoh Mirah,isteri Tgk.H.Anwar Nurdin). Ketika beliau berumur delapan tahun, ibunda kandung meninggal dunia dan tinggallah Nuruzzahri kecil dengan adik-adiknya bersama ayah.

Ayah Tgk.H.Nuruzzahri, Tgk. H.Yahya, adalah seorang tokoh masyarat, tokoh agama, juga seorang guru besar yang merangkap panitia pembangunan dayah Ma’hadal Ulum Diniyyah Islamiyah Mesjid Raya, (MUDI MESRA), di era kepemimpinan Tgk.H. Abdul Aziz (Abo Aziz Samalanga). Selain sebagai tokoh agama, beliau juga seorang pembisnis hasil bumi yang tergolong sukses.

Tgk.H.Yahya berasal dari desa Monkeulayu, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen. Pada 1937 beliau berangkat ke Samalanga untuk menyantri (meudagang) di Dayah MUDI MESRA yang dipimpin oleh Tgk. Abi (Tgk.H.Hanafiah). Setelah 14 tahun di sana beliau menikah dengan Sa’diah, seorang gadis desa Mideun Jok, desa tempat Dayah MUDI berada. Tgk.H.Yahya adalah sosok berdarah Arab Yaman Selatan. Dilihat dari postur tubuh, beliau mirip orang Timur Tengah dan sering disapa dengan panggilan “Tgk.Arab”. Begitu juga dengan anak-anaknya seperti Waled Nu.
Dalam mendidik anak-anaknya, Tgk.H.Yahya sangat disiplin dan memahami bakat serta kemampuan mereka. Anak-anak beliau diberi kebebasan memilih jalan hidup asalkan mareka sudah matang menguasai ilmu agama dengan cara belajar di dayah. Beliau sangat menekankan pentingnya kewiraswastaan agar terkikis mental-mental manja dari seorang anak. Apapun sikap dan tindakan yang bermanfaat bagi mereka, akan diberi dukungan, baik dukungan moril maupun materil. Sebagai contoh, ketika Waled Nu pada masa muda memilih turun ke sawah untuk menjadi petani layaknya masyarakat lain sebagai sikap mandiri dalam soal ekonomi, sang ayah memberi dukungan dan dorongan dan bahkan memodalinya. Mungkin ada sebagian masyarakat yang memandang ironis karena Waled adalah anak seorang peniaga sukses. Mereka heran mengapa beliau memilih memanggul cangkul ke sawah.

Pola pendidikan seperti itu telah mengantar anak-anak Tgk.H.Yahya ke jenjang kesuksesan, seperti Tgk. H. Nuruzzahri yang kemudian menjadi seorang tokoh ulama Aceh dan akhirnya dipanggil Waled Nu. Tgk.Fakhrurrazi menjadi pedagang hasil bumi. Syekh Asnawi menjadi guru Sekolah Menengah di Sigli dan meninggal dunia sebagai korban DOM 1991. Syekh Baihaqi menjadi ketua umum Dayah Malikussaleh Panton Labu. Putri bungsu beliau, Hj.Marhamah berkiprah sebagai pimpinan pesantren putri Miftahul Ulum, Tanoh Mirah (Walidah Tanoh Mirah).

Kehidupan Masa Kanak-kanak

Pada usia yang masih sangat membutuhkan belai kasih seorang ibu, Waled mengecap sedihnya hidup sebagai piatu. Namun demikian, Waled dan adik-adiknya tetap tegar dalam menjalani kehidupan. Semangat beliau untuk terus belajar tidak pernah surut karena mereka selalu diayomi dan ditempa dengan semangat kesabaran oleh sang ayah. Di rumah kayu berukuran sedang (rumoh santeut), bercat hitam oli bekas dan diterangi cahaya redup redam lampu minyak tanah yang menggambarkan kesederhanaan, Nuruzzahri dan saudaranya menghabiskan malam menjelang isya untuk belajar Al-quran. Selain mereka, kaum ibu desa juga ambil bagian belajar agama di rumah itu sehingga rumah tersebut dinamakan dengan madrasah rumahan (rumoh beuet).
Masa kanak-kanak Nuruzzahri dihabiskan di dayah MUDI dan bergaul dengan para santri sebaya dan Teungku-teungku. Dari sinilah tumbuh dan berkembang semangat belajarnya hingga membentuk satu sikap cinta akan ilmu pengetahuan agama dan untuk seterusnya memilih menjadi santri di dayah tersebut.

Latar Belakang Pendidikan

Waled Nu mengawali pendidikan formalnya di SR 3 Samalanga (Sekolah Rakyat). Beliau belajar di sekolah pada pagi hari dan di Madrasah Diniyyah pada sore hari. Pada 1964 beliau masuk pesantren Ma’hadal Ulum Diniyyah Islamiah (MUDI) Samalangan yang dipimpin oleh Tgk H.Abdul Aziz Shaleh (Abon Aziz Samalanga). Seperti santri yang lainnya, Waled belajar dengan tekun dan menaati setiap peraturan dayah.

Walaupun putra daerah, Waled tidak seperti santri yang lain. Biasanya putra daerah susah mondok (muedagang) di daerah sendiri. Tidak adanya kesan sebagai putera daerah,, sikap betah dan taat itulah yang membuat seorang Nuruzzahri mendapat perhatian serius dari para Teungku di dayah. Ketika Waled menduduki kelas tujuh, beliau mendapat kepercayaan menjadi ketua IKPDS (Ikatan Pelajar Daerah Samalanga). Selain itu, beliau juga terlibat dalam berbagai seksi di dalam sejumlah bidang kegiatan di dayah.

Sejak di dayah, Waled sudah dipersiapkan oleh Abon ‘Aziz untuk menjadi seorang pemimpin di kemudian hari. Hal itu sangat berkesan ketika suatu hari Waled dan kawan-kawan yang waktu itu masih menjadi santri, keluar dari dayah untuk menyaksikan dakwah seorang muballig ternama pada malam hari. Saat mereka pulang ke dayah, Waled ditegur oleh Abon, dengan mempertanyakan untuk apa peduli urusan orang, “ tugas kalian di sini adalah belajar bukan dengar dakwah”. Dari ungkapan sang guru tersebut dicerna oleh Waled sebagai teguran bijak yang mengandung nilai-nilai tarbiyah (mendidik). Sesungguhnya Abon menekankan pentingnya belajar dari segala-galanya kendatipun itu bermanfaat, pentingnya prioritas waktu untuk belajar dan dengan belajar seseorang akan meraih apa yang dikaguminya.

Setelah 10 tahun di pesantren tersebut, tepatnya pada 1974 beliau hijrah ke Jombang Jawa Timur dan masuk Fakultas Syariah di Universitas Hasyim Asy’ari. Setelah menyelesaikan satu semester di sana, beliau pindah ke pondok pesantren Darul Hadits Jombang yang waktu itu dipimpim oleh Dr. Abdullah bin Faqih dari Arab, untuk memperdalam pengetahuannya di bidang Ilmu Hadits. Setelah lebih kurang 2 tahun di sana, beliau kembali ke Aceh dan menetap di Samalanga. Dari riwayat pendidikan tersebut, Tgk. H. Nuruzzahri dapat disebut seorang penjelajah pesantren. Pengalaman spiritual yang sempat beliau kutip dalam perjalanannya itu selanjutnya diterapkan pada lembaga yang beliau pimpin.

Semenjak di bangku pendidikan, Waled sudah bercita cita untuk membangun sebuah lembaga pendidikan dengan formula baru yang tidak terdominasi konsep modern, dengan harapan, lembaga tersebut akan mampu menciptakan kader kader intelektual muslim di masa depan yang penuh tantangan.

Latar Belakang Perjuangan Di Dunia Dayah

Pada1976, Waled Nu menikah dengan Hulaimah Jalal dan dikaruniai tujuh orang putra putri, yaitu Aysyatul Kubraa, Misnaiyah, Muyassirah, Ummi Hanik, Abdul Malek dan Muhammad Al-Mushtafa. Setelah menikah, Waled tinggal di sebuah asrama pesantren putri Muslimat Samalanga milik mertua beliau, Tgk. H. Jalaluddin Hanafiah. Di pesantren itulah Waled mengaktifkan diri selaku pelaksana pendidikan yang menangani segala aspek pelayanan mulai dari pembangunan hingga hal sekecil apapun. Dedikasi seorang Waled sangat luar biasa terhadap dayah itu, selain sebagai staf pengajar beliau juga pencari dana pembangunan dayah tersebut. Hampir setiap hari Waled mendatangi desa-desa terpencil dengan berceramah untuk menggalang dana pembangunan dayah dengan harapan masyarakat desa itu mau membawa anak mereka ke dayah muslimat. Upaya itu tidaklah sia-sia, dalam masa itu pula banyak santriwati berdatangan dan kebanyakan mereka berasal dari desa yang pernah dikunjungi waled.

Ada suatu kisah yang sangat mengerikan dan penuh resiko yang menimpa Waled dalam kesetiaannya pada dayah. Peristiwa itu terjadi pada suatu malam di tahun 1989 sekitar pukul 22.00 WIB, Pada malam itu Waled dalam perjalanan pulang berceramah dari Geumpang, Pidie dengan mengendarai sepeda motor merk Vespa Spring, ditemani pendamping beliau, Tgk. Ilyas Geurugok. Dalam kegelapan malam itu tidak ada satupun kendaraan lain yang lalu lalang di jalan B.Aceh-Medan, tetapi suara mesin tua vespa Waled memecah kesenyapan malam. Vespa terus melaju membawa dua insan yang diburu rasa was-was kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam perjalanan. Di sekitar daerah Paru, Pidie, suasana kian mencekam, hanya suara raungan mesin dan nyanyian jangkrik sayup terdengar. Tiba-tiba dari arah kegelapan ada yang menghadang jalan mereka dengan melempari batu untuk melumpuhkan beliau dan bermaksud ingin merampok. Lemparan itu menghentak jantung yang dari tadi memang tak nyaman. Teringat kata orang, bahwa di kawasan hutan tersebut rawan terjadi perampokan. Lemparan benda keras tidak sempat mengenai mereka, daam keadaan pontang panting Waled menancap gas vespa menyelamatkan diri bersama uang sumbangan dayah dalam bagasi vespa senilai kurang lebihRp.2.500.000. Akhirnya Waled berhasil meloloskan diri dari todongan penggangu jalan dan uang sumbangan untuk dayah pun berhasil diselamatkan.

Cikal Bakal Menjadi Pimpinan Dayah

Pada waktu Ayah mertua Waled, Tgk. H. Jalaluddin, Ayah Jalal, dalam kondisi sakit menjelang pulang ke rahmatullah, kepemimpinan pesantren dipercayakan kepada Waled. Tidak mudah memang mengelola pesantren yang notabene santrinya adalah kaum putri, Namun, berkat kegigihan, dan loyalitas yang tinggi, selama 18 tahun kepemimpinan beliau telah membuat pesantren yang jumlah santrinya mencapai seribuan itu menjadi pioner untuk pesantren-pesantren putri lainnya di Aceh.

Sekitar penghujung 1989, saat di Aceh diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM). Hampir di setiap pelosok Aceh terkena imbas. Banyak sekali anak yang kehilangan orang tua dan menjadi yatim, padahal mereka masih sangat membutuhkan perhatian keluarga dalam bidang pendidikan. Ribuan anak Aceh saat waktu itu terlantar, tanpa sentuhan tangan kesejahteraan dari pihak mana pun, kebebasan mereka untuk belajar terancam punah,. sekolah mereka terbakar dan rumah-rumah terpaksa dikosongkan. Mereka menghuni barak-barak darurat. Karena itukah tatanan sosial mendebu dan orang-orang menangisi nasib dirinya masing-masing.

Menyikapi fenomena yang sangat memprihatinkan itu, timbullah gagasan Tgk, H Nuruzzahri untuk mendirikan sebuah panti asuhan yang menampung anak yatim piatu pada tahun 1990 dengan yang diberi nama Ummul Ayman. Itu dilakukan sebagai wujud kepekaan sosial dalam menanggulangi korban konflik. Nama “Ummul Ayman” diambil dari nama salah seorang pengasuh Nabi Muhammad saw setelah beliau ditinggal wafat ibunya dengan harapan, Ummul Ayman akan jadi pelindung anak anak yatim dari keputusasaan dan keterlantaran.

Untuk merealisasikan gagasan tersebut, Waled memilih lokasi panti asuhan persis di sebelah timur kediamannya yang waktu itu masih rawa rawa. Tempat itu adalah lahan kumuh yang digunakan warga setempat untuk membuang sampah, bekas sungai yang sudah sangat lama terbengkalai dan dipenuhi ilalang layaknya kawasan angker. Kedalaman tempat itu mencapai 3m. Dengan semangat dan dorongan tanggung jawab moral, tempat itu diuruk sedikit demi sedikit dengan mengandalkan tenaga swadaya sebagian masyarakat sehingga berhasil didirikan satu bale dilengkapi kamar tidur hasil waqaf hamba Allah di atas sebidang tanah wakaf berukuran 300 meter persegi yang kondisinya sangat becek. Bila hujan deras, sekitar balee dipenuhi air kotor. Wajar saja, kedalaman area mencapai tiga meter dari badan jalan. Di atas balee itulah beberapa anak yatim korban konflik belajar ngaji dan tidur di waktu malam dalam desingan nyamuk dan dingin angin malam.

Makin lama jumlah santri korban konflik semakin bertambah. Umumnya mereka berasal dari Aceh Timur dan Pidie , daerah sentral DOM. Rata rata mereka diantar oleh wali/kerabat/saudara sebagai pengganti orang tua. Antusias mereka untuk belajar terbukti dari kesabaran mereka bertahan dalam kondisi yang serba kekurangan. Mereka masak dan makan bersama sebagai upaya menumbuhkan semangat solidaritas pada anak didik. Di samping itu, yang membuat mereka betah tidak terlepas dari sikap harmonisme seorang pemimpin yang dengan tanpa pamrih mengayomi mereka sehingga berkesan bahwa mereka telah menemukan sosok pengganti orang tua.
Pada 1991 Ummul Ayman berkembang menjadi sebuah yayasan yang diketuai oleh Tgk.H.Nuruzzahri sendiri. Yayasan Ummul Ayman menyediakan tiga unit pelayanan sosial, yaitu panti asuhan, sekolah, dan pasantren salafiah. Barulah pada waktu itu bantuan sarana dan prasarana dari lembaga lain, baik pemerintah maupun nonpemerintah mulai mengalir. Dalam menjalankan roda pelayanan sosial, Waled menerapkan prinsip-prinsip menuju keberhasilan dengan cara menyamakan kurikulum dayah dan sekolah agar mutu pendidikan agama dan umum bisa meningkan dan mereka memperoleh hak pendidikan seperti anak-anak lain. Memberi rasa nyaman kepada anak didik supaya tertanam kesabaran dalam jiwa mereka dalam menempuh pendidikan. Konsep kepemimpinan itulah yang telah mampu membawa panti asuhan Ummul Ayman menjadi sebuah lembaga sosial pendidikan yang optimal dan dikagumi oleh banyak kalangan.

Ummul Ayman, yang dulu asramanya berkontruksi kayu dan dihuni oleh anak-anak terlantar, kini menjelma menjadi sebuah lembaga pendidikan semi terpadu yang kualitas santrinya mendapat prestasi puncak dan mampu beradaptasi dengan pendidikan formal lain. Semi terpadu adalah istilah yang diberikan oleh Waled sendiri karena metode pendidikan di Ummul Ayman berpeda dengan pesantren-pesantren terpadu. Ummul Ayman masih mempertahankan metode dan target kurikulum dayah salafiah dengan cara menyelaraskan pendidikan sekolah dan dayah namun prioritasnya adalah dayah. Asrama penginapan dan tempat belajar masih dipertahankan nilai-nilai dayah layaknya, seperti masih ada bale-bale tempat belajar ngaji dan busana santri pun masih berkain sarung dan berpeci. Nilai-nilai klasikal tersebut terus dipertahankan agar Umul Ayman memiliki ciri khas tersendiri. Karena untuk suatu perkembangan dan pembaharuan tidak mesti menghilangkan nilai-nilai yang sudah ada hanya saya butuh penyesuaian. Dalam hal ini, ungkapan yang pengandung nilai prinsipil, “ menyekolahkan santri bukan menyantrikan siswa” kerab diucap oleh Waled.

Pasca Aceh dilanda tsunami, Desember 2004, banyak anak-anak korban tsunami tamatan SD (sekolah dasar) ditampung dan diberi pelayanan di Ummul Ayman. Mula-mula, dari desa-desa pesisir Samalanga anak-anak yatim perempuan diantar ke Ummmul Ayman, padahal waktu itu belum tersedia asrama putri di komplek, maka terpaksa santriwati yang berjumlah 40 orang ditampung di rumah Waled, dua kamar tidur dijadikan asrama sekaligus tempat belajar mereka. Masyarakat yang mengetahui di Ummul Ayman sudah diterima santriwati, berduyun-duyun mengandat anak mereka, sebab itu sudah dinanti-nantikan oleh masyarakat.

Setelah setahun mereka menginap di rumah Waled, jumlah mereka sudah bertambah mencapai 80 orang dan itu jumlah yang tidak mungkin ditampung di dua kamar rumah. Dalam kondisi serba darurat seperti itu, Waled Nu yang berjiwa kreatif dan inovatif, membeli lahan seluas 3 hektare di sebelah selatan komplek putra. Dalam waktu dua tahun, Sampai 2007 jumlah santriwati yang masih anak-anak sudah mencapai 100 orang. Selain anak korban tsunami, anak-anak non yatim pun diterima di dayah tersebut dengan ketentuan membayar biaya makan bulanan agar bisa membantu biaya konsumsi bagi anak-anak yatim. Kurikulum yang diterapkan di dayah ummul Ayman putri, sama seperti di Ummul Ayman putra dan Dayah Salafiah lainnya. Begitu juga dengan kuriklum Sekolah Menengah Pertama (SMP) sama sperti sekolah negeri sehingga dengan sebab itu, Ummul Ayman baik putra maupun putri menjadi pilihan bagi orang tua yang ingin anaknya mondok di lembaga pendidikan yang ada pesantren dan sekolah.

Hal-Hal Yang Membentuk Karakter Tokoh

Waled adalah sosok bertubuh tinggi tegap, jenggot lebat yang kian memutih menggambarkan sosok wibawa terpancar diri rautnya, rambut lurus mulai beruban melukiskan kejernihan di pikirannya, sorot mata yang tajam menerkam perasaan bagi siapa yang menatapnya dan nada bicara beliau terkesan vokal namun lembut dan santun. Secara kasat mata, Waled nampak keras dan seram. Namun, siapa menduga, di balik suaranya yang memekik dan jenggotnya yang lebat bak sarang lebah bergantung di dahan, tersimpan kelembutan yang luar biasa dan manisnya ilmu yang diteguk oleh sekian banyak murid-murid beliau dan masyarakat .

Ketika penulis mengunjungi kediaman beliau di seberang jalan dayah Ummul Ayman, di teras rumah berlantai satu, disambut hangat dengan basa-basi yang santun. Penulis mengutarakan hajat mengunjungi beliau, tanpa berkilah dan berdalih, penulis, dipersilakan untuk mewawancarai beliau. Sikap keharmonisan dan objektivitas dalam menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan penulis. Suasana pertemuan semakin haru sehingga banyak data mengenai ulama yang satu ini bisa penulis peroleh. Di tengah hangatnya wawancara, tiba-tiba datang dua orang tamu yang ingin mendaftar anak yatim ke pesantren beliau dan terpaksa wawancara dihentikan. Dari sikap menghadapi wali murid, beliau sangat tegas dan berterus terang, bahwa untuk sementara santri yang berstatus yatim tidak bisa diterima karena ruang inap tidak mencukupi sebab jumlah santri yang ada sudah mencapai 700 orang, melebihi kapasitan daya tampung asrama. Merasa keinginannya tak terpenuhi,, tamu tersebut sejenak diam, raut wajahnya menampakkan kekesalan dan keputusasaan. Dengan cermat, Waled menangkap ekspresi wajah sang tamu lalu beliau meminta kepada tamu untuk memahami tingkat kemampuan dan pelayanan yang sanggup diberikan kepada anak yatim. Beliau menggambarkan bahwa, panti tidak sanggup memberi pelayanan lebih dari 250 orang anak yatim dalam bidang konsumsi dan kebutuhan lain yang masuk dalam tanggungan yayasan saat ini.

Waled menerapkan sikap kewirasuwastaan dalam mendidik para santri. Beliau sering bersama-sama anak yatim bergotong royong di sawah dan di dayah. Sampai di usia menjelang 60 tahun, Waled masih sanggup mengontrol pembangunan di dayah. Menurut beliau, seorang pimpinan jangan mutlak menyerahkan setiap urusan kepada bawahan,dengan kata lain, pimpinan harus tahu persis apa yang dikerjakan bawahan. Karena itu, selain pimpinan dayah, beliau juga ikut berpartisipasi dalam setiap urusan internal dayah. Tidak ada satu kebijakan pun yang diambil oleh dewan guru terlepas dari rekomendasi beliau.

Di samping itu, Waled Nu juga menonjolkan sifat khidmah. Dalam bulan Ramadhan, menjelang buka puasa, waled sudah bersimpuh di balee musalla yang masih berkontruksi kayu. Setiap ada santri yang lewat dipanggil untuk berbuka puasa bersama. Dalam menyapa anak didik, Waled sering menggunakan bahasa Arab atau bahasa Indonesia sebagai upaya menumbuhkan semangat berkomonikasi dengan bahasa resmi nasional dan dunia. Wajar saja karena di pesantren beliau diterapkan berbahasa Arab, Inggris dan Indonesia bahkan pembelajarannya termasuk dalam ektrakurikuler dan itu menjadi ciri khas pendidikan di Ummul Ayman.

Keterlibatan Dalam Sosial Kemasyarakatan

Berawal pada 1976 sampai sekarang, Waled Nu sering diundang masyarakat untuk berceramah dalam perayaan hari besar Islam. Dalam menyampaikan ceramah, Waled memiliki gaya tersendiri yaitu suara yang nyering menggelegar, ekspresif, serta berpenampilan layaknya orang kharismatik. Dengan cara itu, beliau mampu menarik perhatian para pendengar sehingga nama Waled Nu cukup dikenal di lapisan masyarakat bawah dan komunitas intelektual karena sering juga menjadi pemateri dalam forum diskusi dan seminar.

Sampai sekarang Waled intens berpikir untuk kemajuan pendidikan agama. Hal itu beliau relisasikan dengan cara menambah kurikulum serta mengembangkan aspek keterampilan sebagai life skill bagi anak didik di dayah Ummul Ayman. Dalam setiap kesempatan, apakah itu mimbar khutbah, pengajian atau forum resmi lainnya, Waled selalu menuangkan gagasan mengenai kualitas pendidikan di Aceh. Selain pimpinan dayah, Waled tidak pernah ketinggalan dalam setiap kegiatan kemasyarakatan seperti memimpin pengajian massal di desa-desa, menjadi imam dan khatib Mesjid Raya Samalanga.

Beliau berdedikasi tinggi dalam sosial kemasyarakatan pada lapisan bawah, mulai dari lingkup desa sampai kecamatan. Sering bila ada permasalahan yang muncul ditengah masyarakat sekitar, diharapkan keterlibatan Waled untuk rekonsiliasi/ishlah. Hal itu terihat dari rumah beliau yang tidak pernah sepi dari kunjungan masyarakat dengan beragam keperluan menjumpai sang tokoh dan panutan. Dengan mudah nasyarakat bisa menjumpai beliau karena tidak harus menempuh prosudur protokoler atau ajudan. Untuk melayani masyarakat, Waled sering menggunakan teras rumah sederhana yang dilengkapi meja kecil dan beberapa kursi plastik. Di sanalah Waled sering menjamu tamu-tamu penting dari dalam dan luar negeri untuk bertemu ramah dengan beliau. Dalam mengkondisikan tamu yang berkunjung, Waled sering menyuguhkan kesederhanaan dan apa adanya. Cara seperti ini telah mampu menciptakan kekaguman dalam hati sang tamu dan menjalin keakraban dengan beliau.

Keterlibatan Dalam Organisasi

Selain berperan sebagai pimpinan Dayah Salafiyah dan panti asuhan, Waled juga terlibat dalam beberapa organisasi masyarakat (ORMAS), baik daerah maupun nasional. Waled pernah menjadi ketua syuriah PW NU Aceh 1970. Ketua tanfiziah wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (PW NU N A D) 1995. Ketua dua dalam organisasi Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) 1999 dan menjadi anggota Dewan Paripurna Ulama (DPU NAD) 2006. Dalam forum akademik kususnya pendidikan agama, beliu dikenal sebagai konseptor yang idealis sehingga banyak terlibat dalam berbagai seminar selaku pemateri.

Bila ditoleh dari latar belakang pendidikan, beliu bukanlah lulusan atau lulusan Universitas dengan menyandang titel tertentu, akan tetapi beliau mantan santri Dayah Mahhadul Ulum Diniah Islamiah (MUDI) Samalanga, Dayah yang telah banyak melahirkan tokoh ulama Aceh dalam kepemimpinan Alm Tgk.H.Abdul Aziz (Abon Samalangan), seperti Tgk.Ibrahim Bardan (Abu Panton), Tgk.Daud Lueng Angen (Abu Lhok Nibong),Tgk.H. Kasem TB, Tgk.H.Usman Kuta krueng (Abu Kuta Krueng) dan banyak lagi alumni lain yang sekarang ada diantara mereka yang menempati birokrasi pemerintahan seperti Tgk.H. Gazali Syam.

Berkat konsistensi beliau di dunia pesantren dan melibatkan diri dalam berbagai organisasi, Waled telah mampu beradaptasi dengan lingkungan akademis dan politikus walau dalam kapasitas tertentu. Tokoh ulama yang satu ini punya andil besar dalam perkembangan pendidikan formal dan informal di Aceh dengan mengedepankan kepekaan sosial yang tinggi terhadap kelangsungan pendidikan anak-anak yatim korban konflik dan tsunami .
Seiring waktu berjalan, pada 1999 dimana Aceh berkesempatan bangkit dari mimpi buruk yang sudah sekian lama mencengkeram, aksi-aksi masyarakan muncul di mana mana, menjamurnya organisasi dan komonitas masyarakat baik itu pelajar maupun masyarakat biasa. Ketika mahasiswa meneriakkan slogan referendum disertai dengan pergerakan massal yang luar biasa, tokoh tokoh kontra publik Aceh mengunci rumah-rumah mareka dan bersembunyi dari mata massa yang dalam kepanasan, tapi Waled Nu tampil diatas pentas orasi di halaman mesjid agung Baiturrahman, di saksikan oleh ribuan mata masyarakat yang berdatangan dari segala penjuru Aceh, seorang tokoh ulama berpenampilan kain sarung, bukan jas safari yang berdasi, dengan polos berorasi menyuarakan kata hati masyarakat, itu dilakukan bukan atas kepentingan satu-satu lembaga apalagi untuk mempertahankan jabatan yang tak pernah disemat atasan dan diancam oleh bawahan, seperti sikap beberapa tokoh Aceh waktu itu.

Pengalaman Training Ke Luar Negeri

Pada tanggal 15 September tahun 2002 , Waled Nu mendapat undangan dari Institute Training and Development Amerika serikat (ITD. USA), untuk mengikuti pelatihan Leader Standart Akademi Internasional selama 20 hari yang difasilitasi oleh sebuah lembaga sosial dan Waled memperoleh sertifikat dari ITD.
Dalam training selama 20 hari, menghasilkan beberapa poin hasil studi antara lain, untuk mengoptimalkan metode pendidikan perlu ada perumusan materi pokok dan mensosialisasi meteri yang sifatnya unuversal, agar peserta didik menguasai materi materi ilmu pengetahuan di Universitas luar negeri dan akan memudahkan generasi kedepan dalam beradaptasi dengan pendidikan di sana.
Dalam studi tersebut, Waled beserta anggota tim lainnya sempat berkunjung ke beberapa tempat pendidikan di negeri paman sam yang terkenal itu. Dari amatan beliau, pola pendidikan agama kususnya agama islam di Amerika tidak jauh bedanya dengan di Indonesia. Yaitu dengan cara mengasramakan para pelajar dan mempunyai jenjang pendidikan. Hanya saja di sana tidak ada pesantren yang tolen ataupun salafiah, maklum ummat muslim di Amerika termasuk dalam kolompok minoritas dan komonitas muslim lebih banyak berasal dari imingat timur tengah.

Pandangan Tentang Politik Dan Ekonomi

Waled sangat mendukung seandainya kaum santri atau masyarakan agamis yang sekarang terkesan termarjinal dari kebebasan politik untuk bangkit dan berkiprah dalam politik praktis seperti pembentukan partai politik lokal. Dalam hal ini, menurut beliau ada beberapa hal yang harus ditempuh demi suksesnya rencana ini. Antara lain menyiapkan SDM kaum santri untuk berkiprah dalam partai agar mereka yang nanti membawa aspirasi jangan dikalahkan dalam kompetisi argumen politik di ruang sidang. Di samping itu juga mereka harus diperkokoh pemahaman tentang lembaga yang mengantar mereka ke arena politik sepaya partai tersebut menjadi partai yang aspiratif. Bahkan beliau sendiri bersedia untuk membina mereka dalam hal ini. Menurut beliau, sebenarnya dalam komonitas santri banyak sekali SDM yang berkompeten di bidang politik namun potensi tersebut tidak ada yang mengorbit dan menginfentarisir.

Kaum santri dan ulama sudah saatnya untuk membuka diri dan berkiprah dalam kancah politik. Tidak perlu merasa takut pada ancaman-ancaman politik yang belum pasti ada. Sebab negara kita negara demokrasi, kalau masih ada pihak yang mengancam keberadaan partai berbasis santri, beliau menilai bahwa pihak tersebut belum dewasa dalam berpolitik dan masih ada sistim perbudakan politik atau politik “belah bambu”. Wacana itu perlu secepatnya direalisasikan dalam momentum reformasi dan demokrasi. Partai yang dimaksud adalah seperti PKNU (Partai Kebangkitan Nahdhatul Ulama) yang dimotori oleh NU (Nahdhatul Ulama). Dengan kata lain, partai yang dimaksudkan waled bukan partai RTA (Rabithah Taliban Aceh) dan HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh), tapi satu lembaga lain yang dibentuk untuk partai lokal yang berbasis RTA dan HUDA dan menjadi penyalur aspirasi ulama dan kaum santri serta masyarakat umum.

Dalam memperkokoh satu organisasi, Waled berpendapat bahwa pentingnya kegiatan silaurrahmi atau pertemuan foral seperti melaksanakan rapat evaluasi dan sebagainya. Sebagai salah seorang pengurus organisasi Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), beliau bercita-cita lembaga ini menjadi lembaga besar dan berpengaruh yang akan menjadi panutan bagi organisasi lain.
Untuk organisasi santri, Rabithah Taliban Aceh (RTA) beliau menyarankan perlu ditingkatkan sosialisasi dengan cara membuat kegiatan seperti mengadakan pertemuan dengan santri-santri di dayah. Dalam hal ini RTA harus siap menerima berbagai reaksi dari santri. Untuk mendukung ekonomi satu lembaga seperti RTA perlu adanya satu kopererasi namun jangan seperti kata orang “” koperasi, gop rasi” koperasi yang menguntungkan cuma pimpinannya karena kurangnya transparansi kepada bawahan.

Tentang Perkembangan Dayah

Perkembangan dayah bisa saja dipengaruhi oleh fenomena sosial sehingga dayah rentan mengalami kemunduran. Dayah dan sistim pengelolaannya pada zaman dahulu dengan sekarang sangat jauh berbeda. Kalau dulu, pimpinan dayah memfokuskan waktu untuk mengajar para guru dan aktif mengayomi anak didik, dalam hal pembangunan, santri menyediakannya sendiri, seprti bilek dan fasilitas lain. Santri yang mondok cuma meminta izin dari pimpinan untuk mendirikan bilek dan bilek tersebut menjadi milik dayah kalau santri sudah pindah atau tidak lagi mendiaminya. Rasa memiliki akan dayah sangat ditanam dalam jiwa santri sehingga kepekaan pun tumbuh. Cara pelayanan seperti ini akan memudahkan seorang pimpinan untuk mengajar tanpa dibebani oleh persoalan pembangunan.

Perbedaan yang nampak ke permukaan sekarang adalah, pimpinan dayah yang kapasitasnya adalah pengajar dan pengayom santri namun sekaligus menjadi pemikir pemangunan. Ketika seorang pimpinan dayah dihadapkan pada persoalan pembangunan terpaksa harus menyisakan waktu di luar dayah untuk menggalang dana pembangunan. Hal ini menggambarkan betapa prioritas dayah sekarang ini pada bangunan fisik untuk menarik perhatian dan “mengundang” santri. Apabila pimpinan sudah tidak aktif mengajar para guru maka guru pun terpaksa pamit dan santri berangsur menyusut. Ini salah satu penyebab.kemunduran dayah di Aceh khususnya.

Posting Komentar