Oleh: Aurel Azkiya*
Saat ini saya duduk di bangku kelas XI Madrasah Aliyah Swasta Ummul Ayman, Samalanga, Bireuen. Dayah Ummul Ayman ini dipimpin langsung oleh Tgk H Nuruzzahri atau kerap disapa dengan sebutan ‘Waled Nu Samalanga’.
Pesantren ini Waled bangun pada tahun 1990 dan dikhususkan untuk pelajar putra. Seiring berjalannya waktu, dayah ini kian diminati, hingga akhirnya ‘Ummul Ayman Putri’ pun didirikan Waled pada tahun 2005 silam.
Di sini, kami diajarkan untuk saling menyayangi dan menghormati sesama. Kami juga diajarkan mandiri sedari kecil agar menjadi generasi yang tangguh di masa depan. Ibarat rumah, kehidupan di dayah bersama teman-teman lintas daerah seperti keluarga kedua bagi saya.
Di dayah, saya sangat merasakan sikap kekeluargaan. Selain dari segala keindahan di setiap sudut pondok pesantren, menariknya juga di dayah ini tidak diperbolehkan berbahasa daerah. Kami dituntut untuk bicara dalam bahasa Arab atau Inggris. Minimal berbahasa Indonesia.
Dari pribadi Waled, saya belajar banyak hal. Di antaranya, semangat beliau dalam belajar-mengajar. Setiap paginya beliau selalu berkenan meluangkan waktu untuk mengajari dan bercengkarama dengan para santriwan/wati. Sebut saja seperti subuh hari Sabtu, Waled mengajari santri-santri kelas satu, hari Minggu bersama santri kelas dua, dan seterusnya hingga hari Kamis bersama santri kelas enam.
Manajemen waktu
Tinggal di dayah bukan hanya memperoleh ilmu, adab, dan banyak teman. Lingkungan dayah juga mengajarkan saya untuk lebih disiplin mengatur waktu. Aktivitas rutin yang kami lakukan adalah bangun pagi setiap jarum jam menunjukkan pukul 04.30. Sebagian santriwati ada yang beranjak mandi agar segar dan semangat melaksanakan shalat Subuh berjamaah.
Selesai subuh, kami mengaji Alquran dan tajwid bersama ustazah, hingga pukul 07.30 WIB. Selesainya, kami bergegas melakukan kegiatan masing-masing. Ada yang sibuk membersihkan kamar, mencuci pakaian, maupun menikmati udara segar di bawah sebatang pohon yang berada tepat di dekat rumah Waled.
Kami sering menyebutnya ‘syajar mahabbah’ yang berarti ‘pohon cinta dan kedamaian’. Di bawah pohon itulah kami merajut kasih sayang dan saling bercengkrama.
Pukul 08.00 saatnya sarapan. Selesai aktivitas di pagi itu, sebelum jam menunjukkan angka 08.30, biasanya saya menghabiskan waktu di lantai dua musala. Itu tempat yang paling indah. Saya harus menaiki berpuluh-puluh anak tangga untuk tiba di atasnya.
Di sana, saya dapat melihat seluruh bangunan dayah serta menikmati keasrian hutan-hutan, sawah, dan perkampungan di sekitar pesantren. Selesai menghirup udara pagi itu, terdengarlah seruan selawat Nariyah pertanda shalat duha akan segera dilaksanakan. Saya langsung bergegas turun untuk berwudu dan melaksanakan shalat duha berjamaah.
Pada waktu duha, mulai pukul 09.00 hingga 11.00 jadwal kami yakni mengaji kitab kuning di kelas masing-masing. Berhubung saya di jenjang aliah, kitab fikih yang saya pelajari adalah kitab I’anatut Thalibin.
Selesai mengaji, lonceng pun berbunyi. Saatnya tiba waktu istirahat. Kami dituntut untuk beristirahat hingga azan zuhur dikumandangkan. Keadaan tidur di pagi menjelang siang ini akrab kami kenal dengan istilah ‘Qailulah’ yakni tidur istirahat yang tujuannya agar lebih bersemangat ketika beraktivitas di siang dan malam nanti.
Di siang hari, kami bersekolah mulai 14.30 hingga pukul 16.00 WIB. Guru-guru bidang studi umum didatangkan dari luar dayah. Sementara untuk bidang studi agama, yang mengajari kami adalah ustaz-ustaz yang telah menamatkan jenjang sarjana.
Saat azan asar dikumandangkan, aktivitas berhenti sejenak untuk melaksanakan shalat jamaah. Setelah shalat Asar, aktivitas sekolah tetap berlanjut hingga jam 17.30 WIB. Aktivitas sekolah bakda asar itu aktif setiap hari, kecuali pada hari-hari perayaan Hari Besar Islam, misalnya pada hari 10 Muharam (Asyura), aktivitas sekolah diliburkan.
Momen Hari Asyura
Di hari tanggal 10 Asyura, kami diwajibkan berpuasa. Bakda asar, para santriwati dipersilahan mengambil bubur Asyura di dapur. Tentu kami harus mengantre panjang. Sesekali berdesah kesal. Meski begitu, semangat berdisiplin tetap kami patuhi.
Matahari semakin menyirami kompleks dengan semburat jingga di senja hari itu. Beberapa orang santriwati sedang menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa. Ada yang menyibukkan diri dengan pesanan makanan yang hendak dikirim melalui posko. Semua tampak sibuk di hari itu.
Sebelum berbuka, para santriwati memasuki musala untuk membaca Quran berupa Surah Yasin yang dibimbing oleh ustazah, kemudian berdoa bersama sembari menanti azan berkumandang dari musala kompleks putra.
Di pondok pesantren, puasa-puasa sunah seperti itu memang sangat dianjurkan agar kami sama-sama beramal dan saling berbuat kebaikan. Santriwati tampak riang gembira saat menikmati hidangan makanan. Tak lama kemudian, kami melanjutkan shalat Magrib berjamaah. Selesai berzikir, kami tetap berada di musala, mengikuti pengulangan vokal bahasa Arab/Inggris (i’adah). Aktivitas tersebut berakhir ketika azan isya berkumandang.
Pukul 21.00 aktivitas berlanjut dengan mengaji serta mengulang-ulang pelajaran hingga pukul 23.00. Selesai mengaji, kami juga diberi waktu 30 menit untuk break. Di kegelapan malam itu, saya suka menikmati kedipan bintang-gemintang yang menawan di langit Ummul Ayman.
Tepat pukul 23.30 WIB kami wajib memasuki kamar dan bergegas menarik selimut untuk tidur. Menjelang tidur, kami juga diminta untuk membaca Surah Al-Mulk dan doa-doa sebelum tidur. Sehingga malam itu kami mengakhirinya dengan membaca kalam Allah Yang Mahamulia.
Karena segala keharmonisan yang saya rasakan di dayah inilah menuntut saya untuk menulis reportase ini. Selain juga karena terpengaruhi oleh semangat menulis dari guru kami, Ustaz M Aidil Adhaa Lc. Di kelas, selain mengajar bahasa Arab, Ustaz Aidil juga meminta kami untuk bersemangat dalam menulis.
“Tunjukkan bahwa santri-santri putri di Aceh juga mampu dan punya potensi untuk menjadi penulis-penulis hebat,” ujarnya suatu waktu.
Reportase ini sebagai bentuk rasa kagum dan keinginan saya untuk memberi tahu kepada dunia bahwa pondok pesantren bukanlah penjara, bukan pula tempat yang penuh rasa bosan-sesak seperti yang dibayangkan oleh kebanyakan remaja.
Kehidupan semacam ini bagai alunan musik atau gerakan dansa tanpa henti. Itu-itu saja. Tetapi itulah kehidupan yang meski awalnya berat, tapi akhirnya ia mengajari saya banyak hal, mulai dari kemandirian, berakhlakul mulia, hingga cara saya mengatur waktu.
Terkait peraturan di dayah, sebenarnya sangat mudah untuk saya sikapi. Boleh jadi itu itulah alur kehidupan yang terbaik bagi saya. Mudah saja jika saya mau mengikutinya sebagaimana air mengalir, maka semua akan baik-baik saja. Toh sampai hari ini saya tak pernah ingin beranjak pergi dari sini. Bahkan saya amat bahagia menjadi bagian dari rakyat kecil Ummul Ayman. Salam santri!
*)Siswi Kelas XI Madrasah Aliyah Ummul Ayman, asal Tringgadeng, Pidie Jaya.