Oleh: Tgk. Aidil Adha Ridhwan, Lc*
Merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘senja’ berarti ‘waktu (hari) setengah gelap sesudah matahari terbenam’. Namun, bagi penulis-penulis sastra khususnya, ‘senja’ menjadi diksi yang memiliki filosofi tersendiri. Bahkan, dewasa ini, ada beberapa karya penulis-penulis nasional yang menjadikan ‘senja’ sebagai judul, bahkan sebagai topik utama. Di antara tulisan yang pernah saya baca adalah ‘Senja, Hujan, dan Cerita yang Telah Usai, karya penulis pujaan sebagian milenial saat ini, Boy Candra.
Banyak penulis yang menguraikan beragam versi filososfi dari ‘senja’ tersebut. Menurut saya, waktu senja dengan keindahan semburat jingganya di ufuk barat itu bagaikan hasil akhir dari ‘pertaruhan pagi dan siang hari’. Teriknya matahari siang membuat semua orang berpeluh, tapi senja mampu meneduhkannya. Ia bak harapan dan tujuan, yang semua orang ingin menikmatinya.
Makanya tak heran, ketika sore hari tiba, kita banyak menyaksikan banya orang menikmati keindahan dan keteduhan waktu senja tersebut. Baik kongkow bareng teman, sejawat, maupun bercengkerama dengan keluarga. Tak terkecuaali di Samalanga, sebuah kecamatan di Kabupaten Bireuen. Banyak tempat wisata yang bisa dijadikan destinasi menikmati senja di sini.
Saat ini saya berdomisili di Dayah Mahasiswa (Ummul Ayman III), Meurah Dua, Pidie Jaya. Namun, akhir-akhir ini saya sering bertandang ke Ummul Ayman I di Samalanga. Selama berada di ‘Kota Santri’ ini, saya perhatikan ada beberapa titik wisata yang banyak diserbu masyarakat untuk mendestinasikan pikiran, hati, maupun akal di waktu sore menjelang malam. Biasanya, setelah shalat Asar, jalanan sudah mulai disesaki pejalan, baik itu mahassiwa/i yang menuju ke kampus mereka di IAIA Al Aziziyah, teungku-teungku berpeci, maupun warga setempat yang ingin menikmati sore itu.
Berbicara tentang keindahan senja, kali ini saya ingin berbagi sedikit pengalaman bersenja ria di Dayah Ummul Ayman, sebuah instansi pendidikan semiterpadu yang berlokasi di Desa Gampong Putoh, Kecamatan Samalanga. Dayah ini dipimpin oleh Tgk H Nuruzzahri Yahya (seorang ulama karismatik Aceh yang akrab dikenal dengan panggilan ‘Waled Nu’).
Selain mengaji kitab kuning, Ummul Ayman juga memberlakukan program belajar sekolah. Baik itu sekolah menengah pertama (SMP) maupun tingkat aliah (MA). Program belajar di sekolah berlangsung siang. Tepatnya pukul 14.30 hingga waktu asar. Rehat sebentar untuk melaksanakan shalat Ashar, setelah itu aktivitas sekolah kembali berlangsung hingga pukul 17.30 WIB.
Artinya, seusai jam sekolah itulah, para santri bebas dari aktivitas pengajian maupun sekolah. Namun, bukan berarti mereka bisa berleha-leha. Mulai pukul 17.30 itulah mereka menyibukkan diri dengan aktivitasnya masing-masing. Di antara mereka ada yang langsung berganti pakaian, mengambil perlengkapan mandi, dan bergegas menuju kamar mandi.
Kamar mandi umum Dayah Ummul Ayman berada tepat di arah timur dayah. Persis di samping sungai. Bagi sebagian santri, memanjakan diri mandi dengan menyebur langsung ke sungai aliran Batee Iliek itu lebih seru ketimbang mandi di kamar mandi umum. Bahkan, bisa dikatakan, tidak sedikit dari mereka yang menjadikan mandi sore di sungai itu sebagai destinasi wisata harian. Lebih uniknya, ada dari mereka yang betah tinggal di dayah hanya karena ketagihan dengan sensasi mandi di sungai saban hari itu.
“Karena jeut manoe di krueng tip supot. Meunyoe di gampong lon hana krueng (Karena setiap sore bisa mandi di sungai. Kalau di kampung saya tak ada sungai),” ujar seorang santri saat saya tanyakan mengapa ia betah tinggal di dayah. Ada-ada saja ya alasannya!
Selesai mandi, para penuntut-penuntut ilmu cilik itu bergegas menuju dapur untuk mengambil nasi, sebagai makan malam mereka. Pengambilan nasi tersebut juga ada durasi waktunya. Oleh karena itu, setiap santri dituntut untuk lebih jeli dalam menjaga waktu. Sebab, jika terlambat dari waktu biasanya, maka konsekuensinya ia tidak akan memperolah makan malam. Didikan disiplin inilah yang sangat ditekankan oleh dayah kepada anak didiknya, guna menjadi insan yang disiplin dan penuh tanggung jawab dengan waktunya masing-masing.
Sembari menikmati makan malam, para santri disuguhi bacaan-bacaan Alquran yang diputar di musala melalui mp3. Beberapa menit kemudian, petugas dari Seksi Jamaah mengumumkan bahwa waktu membaca Quran sebelum magrib akan dimulai.
Memang, sesuai jadwal, 20 menit sebelum shalat Magrib, aktivitas para santri adalah membaca Quran. Sembari menunggu tibanya waktu shalat Magrib, mereka dituntut untuk membaca Quran yang dipimpin langsung oleh seorang abang senior. Biasanya, mereka membaca surah-surah yang terdapat di di juz 30. Imam yang memulai bacaan, kemudian jamaah mengikutinya. Suasana dayah pun bergemuruh dengan lantunan-lantunan kalam suci tersebut.
Selain baca Quran, sebagian santri ada yang bertugas membersihkan dayah. Dalam hal ini penanggung jawab langsung ditangani oleh seksi kebersihan. Di saat santri-santri lain baca Quran menjelang magrib, petugas kebersihan harian itu dengan semangatnya membersihkan kompleks dayah. Sebagian mereka membersihkan gang-gang maupun kulah-kulah tempat berwudu.
Dari kebiasaan bersih-bersih itulah setiap santri bisa belajar hidup mandiri dalam hal kebersihan. Selain disiplin, menjaga kebersihan juga merupakan salah satu tujuan dari didikan di dayah. Aktivitas mereka berlangsung hingga azan magrib dikumandangkan. Di hari itu, mereka mendapat dispensasi peraturan dari kedayahan. Tim kebersihan itu diperbolehkan untuk berjamaah shalat Magrib di kamarnya masing-masing.
Seusai shalat Magrib, para santri tidak diperkenankan untuk kembali ke kamarnya masing-masing, karena aktivitas dilanjutkan dengan pembacaan Surah Yasin. Kecuali malam Jumat, surah yang dibaca adalah Alkahfi. Di beberapa kesempatan, saya sering berjamaah dan membaca Yasin bersama mereka.
Berada di kerumunan santri-santri cilik berseragam putih itu seperti menyeret saya untuk selalu membaur bersama mereka di kala senja itu. Tangan memegang Quran, sajadah-sajadah bergelar warna-warni, serta lilitan sorban putih juga serta pantulan cahaya lampu membuat suasana senja itu semakin indah. Saya yakin, setiap wali murid akan menangis terharu ketika melihat anak-anaknya berada di antara ribuan santri itu.
Selesai pembacaan Yasin, aktivitas dilanjutkan dengan pembekalan kecakapan berpidato (public speaking). Sembari menunggu tibanya waktu isya, tiga orang santri maju ke depan musala untuk berpidato dalam beragam bahasa. Aktivitas terhenti ketika waktu azan isya tiba. Merekapun bersiap-siap mendirikan shalat di waktu malam itu. Oh, betapa indahnya senja di asramaku! Harapan kita, semoga adik-adik kami itu menjadi insan-insan yang bisa dibanggakan oleh agama, orang tua, dan negara. Semoga.
*)Guru Dayah Ummul Ayman III Pidie Jaya.
A hand is valued by the rightmost digit of the sum of the cards; each round has exactly three differing outcomes. The participant gets the upper score, or the banker gets the upper score or a tie. In roulette, the gamers should guess on either black or pink, a 우리카지노 single quantity, groups of numbers, even or odd, or excessive [19–36] or low [1–18] numbers.
BalasHapus