Melirik Keunikan Dayah Tarbiyatul Muballighin

Oleh: Tgk. Aidil Adha Ridhwan, Lc*

Pesantren di Indonesia ini merupakan salah satu lembaga pendidikan yang juga ikut serta dalam mencerdasan kehidupan anak-anak bangsa.

Di Aceh, lembaga berasrama ini lebih dikenal dengan sebutan ‘dayah’.

Gerakan kultural yang biasanya dilakukan oleh dayah telah mampu mencetak generasi- generasi penerus bangsa yang seimbang antara pengetahuan sosial dan agamanya.

Bahkan, kehidupan di dayahdayah tak hanya membekali santri dengan ilmu agama, lebih dari itu, mereka juga dibekali dengan kreativitas dalam hal sosial dan ekonomi.

Saat ini saya berdomisili di Dayah Mahasiswa, Meunasah Bie, Meurah Dua, Pidie Jaya.

Namun, beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi Dayah Tarbiyatul Muballighin.

Pesantren ini berlokasi di Gampong Putoh, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen.

Nama lain dayah ini adalah ‘Dayah Ummul Ayman IV’. Dua jam berkeliling dan bercengkerama dengan santri-santri di dayah ini membuat kebosanan dan keletihan pikiran saya pun minggat.

Ini merupakan dayah keempat kepunyaan As-Syaikh Tgk H Nuruzzahri, yang akrab disapa dengan ‘Waled Nu Samalanga’ yang bernaung di bawah Yayasan Ummul Ayman juga.

Salah satu sisi keunikan dayah yang berlokasi di belakang meunasah Gampong Putoh ini adalah mengusung jargon 3B: Beut, Buet, dan Bu (Mengaji, Bekerja, dan Makan).

Dayah ini menerima santri lintas umur. Mulai dari umur 12 hingga 60 tahun.

Selama ini, pendidikan formal maupun nonformal mungkin lebih terkesan diperuntukkan bagi remaja atau dewasa saja.

Oleh karena itu, melalui pemikiran kreatifnya, Waled Nu memberi kesempatan kepada orang yang sudah berumur untuk menimba ilmu di dayah tersebut.

“Kasih tahu abusyikabusyik, abua-abua yang masih ingin belajar agama, belajar Al-Qur’an, silakan datang ke Dayah Tarbiyatul Muballighin,” ujar Waled kepada santri-santrinya di pengajian saban subuh.

Keresahan Waled selama ini kepada masyarakat yang telah berumur, tapi belum mampu mengaji juga mempraktikkan ajaran agamanya pun Waled jawab dengan mendirikan dayah tersebut.

Tujuan mendirikannya adalah untuk menyebarkan ilmu kepada semua pihak yang mana ke depannya tidak ada lagi masyarakat di Aceh yang mengeluhkan tentang kesusahan mendapatkan pendidikan agama.

Santri Entrepreneur Selain diajarkan ilmu syariat, para santri di dayah tersebut juga dibekali dengan usaha dan berjiwa wirausaha atau entrepreneur.

Di atas lahan 2 hektare itu, selain didirikan bangunan-bangunan asrama, Waled juga menyediakan beberapa petak tanah untuk para santri bercocok tanam.

Sungai Batee Iliek yang mengalir di arah timur kompleks dayah juga mereka manfaatkan untuk memancing ikan.

Tak hanya itu, Waled menjadikan dayah dimaksud juga sebagai dayah bebas rokok.

“Ba kawee ta theun bace, ba catok ta ceumatok, dan bek meurukok! Beungoeh dipiep rukok, hana Waled preh supot le (Bawa kail, untuk memancing ikan, bawa cangkul untuk mencangkul tanaman, dan jangan merokok. Kalau pagi merokok, tidak kita tunggu sore, langsung dipulangkan),” ujarnya.

Baca juga: Santri Aceh Mulai Bersuara Terkait Wacana Revisi Qanun LKS, Pertanyakan Motif Pengusul Revisi

Senja menjelang magrib itu, saya menyaksikan keasyikan para santri.

Ada di antara mereka yang sedang mandi, ada yang sedang bercocok tanam, bahkan ada juga yang sedang memberikan umpan bebek dan ayam yang mereka piara.

Di antara usaha yang sudah berjalan di dayah itu selama ini adalah usaha croeh keurupuk, budi daya ikan, juga bisnis minyak serai wangi.

Bahkan, saking banyaknya konsumen, penyulingan minyak serai wangi ini malah ditargetkan seminggu sekali.

Keberhasilan usaha santrisantri di dayah itu juga terlihat dari aspek pemeliharaan ayam, bebek, dan menanam sayur-sayuran.

Pengembangan tumbuhan sehat ini yang lebih menonjol terlihat yakni berupa bayam.

Ketika panen, bayam itu mereka jual ke dapur, baik ke dapur umum Ummul Ayman 1 ataupun ke Ummul Ayman 4.

Kemudian, hasil penjualan itu mereka gunakan untuk keberlangsungan belajar mereka.

Mulai dari pembelian Qur’an, kitab, maupun keperluan harian lainnya.

Sehingga, program ekonomi dengan jargon ‘Minna lana (dari kita, untuk kita)’ yang Waled terapkan di Yayasan Ummul Ayman pun berjalan lancar.

Menjelang azan magrib, para santri kembali bersiapsiap, mandi, dan bergegas menuju musala untuk mendirikan shalat Maghrib berjamaah.

Selesai shalat, dilanjutkan dengan mengaji Al- Qur’an berupa membaca Surah Yasin.

Selesai shalat Isya, mereka diwajibkan mengaji kitab-kitab kuning. Kurikulum yang digunakan juga sesuai dengan standar dayah-dayah lain.

Begitu juga di waktu subuh dan duha, santri-santri itu dibekali dengan kajian kitab- kitab kuning berupa kitab fikih, nahu, sharaf, dan kitab-kitab penunjang (kitab alat) lainnya.

Sedangkan di waktu siang, mereka diharuskan belajar tahsin Al-Qur’an, satu fan ilmu yang termasuk dalam kategori fan Ilmu Tajwid yang memfokuskan kepada perbaikan pembacan Al- Qur’an Alkariim.

Waled menilai, tahsin Qur’an sangat harus disebarluaskan.

Konon lagi akhiakhir ini, di mana banyak dari warga tak banyak lagi yang mampu membaca Quran dengan baik dan benar.

Tak hanya warga biasa, bahkan dari kalangan minoritas pemangku-pemangku agama pun terkadang sudah sangat jauh dari bagusnya bacaan kalam Allah tersebut.

Hingga saat ini, santri di dayah tersebut semakin bertambah. Insyaallah dengan keberkahan doa dari pembaca sekalian dan orang tua, mereka akan menjadi pilarpilar agama berkupiah, bermandiri, dan berdikari dalam hal ekonomi.

Menurut saya, bukanlah aib bagi seorang santri yang juga berusaha mencari pundipundi uang ketika belajarnya.

Tentu terjunnya mereka ke dalam usaha itu bukanlah hal yang difokuskan.

Tujuan utama setiap santri ke dayah adalah menimba ilmu agama.

Namun, di samping itu, dengan berusaha itulah membuat mereka juga belajar ilmu kemandirian dalam hal ekonomi.

Lebih syukurnya lagi jika hal tersebut merupakan bekal mereka untuk terjun berdakwah ke masyarakat nantinya.

Itulah harapan terbesar Waled Nu:

Jika kemandirian ekonomi sudah mendarah daging di setiap jiwa para santri, maka kenyamanan serta keikhlasan mereka dalam berdakwah pun akan semakin terasa.

Jika santri-santri di Ummul Ayman I, II, dan III Waled siapkan menjadi ‘Bapak-Teungku (Bapak yang Berkopiah)’, maka di Tarbiyatul Muballighin ini jargonnya adalah ‘Teungku-Tauke (Teungku yang sukses juga dalam hal bisnis)’.

Semoga saja tercapai. Salam sukses santri entrepreneur!

*)Guru Dayah Ummul Ayman III Pidie Jaya.

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama