Oleh: Almujibul Haq*
Senja yang biasanya tenang, waktu di mana manusia menikmati keindahannya, walau hanya sebentar. Waktu itu tidak lagi bisa dinikmati oleh jiwa yang mati. Salah satunya adalah Aulian. Aulian Basira Ghayda, yang artinya pemimpin laki-laki yang berparas tampan dan menggunakan kecerdasannya dengan bijaksana. Sesuai dengan empunya nama. Tapi kali ini Aulian terkapar lemah di tempat tidurnya, mukanya pucat, nafsu makan pun berhenti pesat. Murung dan melamun jadi santapan barunya saat ini.
Pada sore itu, tiba-tiba Aulian bangkit dari tempat tidurnya. Ia kerahkan semua tenaga, dan berjalan menuju jendela kamar. Aulian meratap nasibnya yang gelap tanpa setitik harap, atau bagai debu yang berterbangan mustahil bisa disatukan dengan tangan. Pandangannya tepat melihat matahari terbenam, yang tidak dapat Ia nikmati lagi bersama pujaan hati.
“Semuda ini usiaku, sudah begitu berat luka yang kutanggung.” Suara hati pun keluar dengan sendirinya.
Tidak jauh dari Aulian berdiri, Haikal, seorang sahabat yang selalu bersamanya dalam suka maupun duka, terheran dengan sikap Aulian. Haikal tidak mau sahabatnya ini putus harapan karena cinta. Haikal pun dengan segera menasihati.
“Eeh……. Berhentilah bersedih begini Hoca..”
(Haikal memanggil Aulian dengan Hoca, karena Ia telah menganggap Aulian sebagai gurunya. Walau, mereka seusia. Tapi tingkat kecerdasan Aulian lebih tinggi dari Haikal sahabatnya) “Yang terjadi biarlah terjadi, Hoca! Hoca ini sudah banyak menuntut ilmu, Budi pekerti dan kesopanan dengan pemikiran luas pun sudah Hoca raih.” Haikal lebih semangat lagi menasihati sahabat sekaligus gurunya. Tidak sampai di situ, ia melanjutkan.
“Janganlah kamu lebih lemah dari kami, orang-orang yang tidak mengenal agama, Al-Qur’an tidak ada di dalam dada, bahkan shalat pun masih mengqadha. Tidak baik bagi kehidupan yang mulia ini untuk dikurung hanya dengan memikirkan wanita itu, wanita yang dipuja Hoca, telah mengkhianati, melanggar janjinya. Di sini, Hoca sengsara, sakit-sakitan. Adapun dia? Dia menikmati waktu pengantin baru dengan suaminya. Hoca adalah orang yang cerdas, mengapa dia dirusak oleh wanita. Dimana pertahanan kehormatan yang ada pada seorang pria ya?”
Aulian masih dengan posisi yang sama, tetapi telinganya mendengar, dan otaknya pun memutar, mencerna sedikit demi sedikit kata-kata dari Haikal sahabatnya.
“Jangan mau hidup Hoca dirampas dan dibinasakan oleh perempuan itu. Hoca pasti tegak kembali. Coba Hoca melihat dunia lebih luas, dan masuk ke dalamnya, di sana masih banyak ketentraman yang tersimpan. Hoca pasti bisa melakukannya dan mengecap bagaimana rasanya, bahagia dan keberuntungan itu. Cinta bukan mengajarkan kita untuk menjadi lemah, tetapi membangkitkan kita kekuatan. CINTA BUKAN MELEMAHKAN SEMANGAT, TAPI MEMBANGKITKAN SEMANGAT. Tunjukkan pada perempuan itu bahwa Hoca tidak akan mati terbunuh olehnya.
Aulian mulai berpikir. Setitik harapan sudah mulai datang, tapi belum terlihat jelas, ia pun membalikkan badannya ke arah sahabatnya, seraya berkata, “semangat?”
“Iya. Semangat.” Lanjut Haikal menggebu. Sadar dengan penjelasannya yang belum jelas menurut Aulian, Haikal pun melanjutkan. “Banyak orang-orang besar yang kalah dalam percintaaan, lantaran kekalahan itu diambil jalan lain. Dia maju ke politik, dalam mengarang buku, dalam menela’ah kitab-kitab, dan dalam perjuangan hidup, sehingga dia bisa berada di puncak yang tinggi, dan perempuan itu akan melihatnya dengan menangah dari bawah. Saya tahu Hoca pandai mengarang, banyak buku terletak atas meja Hoca, banyak karangan- karangan dan hikayat, tapi tidak Hoca teruskan itu.”
Aulian diam saja di tempatnya. Tidak biasanya Haikal sahabatnya ini bicara serius seperti ini. Ia membantah. “Kalau pikiran tertutup, bagaimana mungkin bisa mengarang.” Haikal mengernyitkan kening mendengar perkataan sahabatnya. “Bukannya ketika ditimpa hal-hal seperti inilah, maka terbuka pikiran menulis? Boy Candra misalnya, karangannya rata-rata tentang kegalauan cinta, putus harapan. Sekarang, di mana-mana diterbitkan orang, novel-novel, cerpen inspiratif. Memuat berita, pengetahuan, dan puisi. Kalau Hoca bisa menuangkan pikiran yang tinggi-tinggi itu dengan mengarang, Saya yakin, Hoca akan berhasil.
*)Santri di Dayah Ummul Ayman Samalanga.